Selasa, 25 November 2014

Tujuh Pertimbangan Menciptakan Hubungan yang Sehat & Langgeng


Faktor-faktor apakah yang menentukan si dia cocok untuk kamu? Faktor-faktor apakah yang merupakan indikasi bahwa hubungan pacaran kalian dapat diteruskan ke jenjang pernikahan?

Hubungan antar manusia adalah hal yang kompleks, bahkan pernah disebutkan bahwa sumber mayoritas masalah yang dihadapi manusia berasal dari hubungan antar manusia. Berdasarkan kalimat di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan cinta juga adalah hal yang kompleks dan seringkali menjadi sumber masalah manusia.

Seringkali tidak ada formula-formula yang tepat dan jitu untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimanakah saya tahu si dia adalah orang yang tepat?” Walaupun demikian, di bawah ini ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan untuk menciptakan hubungan yang sehat dan langgeng dengan pacar kamu, dengan harapan bahwa hubungan tersebut dapat dilanjutkan ke jenjang pernikahan:

1. Jenjang kehidupan rohani yang seimbang
Bagaimana kehidupan rohani kalian? Bagaimana pengenalan dan hubungan kalian berdua dengan Tuhan? Apakah kamu aktif melayani di gereja sedangkan dia hanya kadang-kadang ke gereja? Apakah kalian berdoa bersama?
 
Salah satu faktor yang sangat krusial dalam menentukan kelanggengan suatu hubungan adalah kehidupan rohani (spiritual). Bahkan Alkitab pun menyatakan dalam II Korintus 6:14, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Kehidupan rohani yang tidak seimbang merupakan potensi friksi dalam suatu hubungan dan dapat menyebabkan kesenjangan (gap) di antara kalian.
Ada dua akibat dari kesenjangan ini: 
- Jika kalian memprioritaskan Tuhan, maka akan terjadi kerenggangan di antara kalian, yang mungkin akan menyebabkan putus hubungan.
- Jika kalian memprioritaskan rela­tionship, maka kalian akan semakin jauh dari Tuhan

Pilihlah pasangan yang dapat saling melengkapi dan mendukung kehidupan rohani kamu sehingga seiring dengan proses berpacaran, kalian juga dapat bertumbuh bersama dan memuliakan Tuhan.

2. Terimalah dia seperti apa adanya
Apakah kamu menerima dia sebagaimana apa adanya? Apakah kamu memiliki pengharapan yang tidak realistik?
 
Setiap manusia diciptakan unik dan setiap manusia memiliki hasrat untuk merasa diterima (to feel ac­ceptance) sebagaimana apa adanya.
Sama seperti tidak ada dua orang yang sama persis (secara fisik, mental, spiritual, emosional) di dunia ini, tidak ada dua hubungan cinta yang sama. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang sama sekali salah bila seseorang yang putus cinta lalu berusaha menemukan orang lain yang memiliki kemiripan dengan mantan pacarnya. Dengan berbuat demikian ia tidak menghargai sang pacar baru sebagaimana dia adanya, satu pribadi yang unik dan berbeda.
Demikian juga halnya dengan memiliki pengharapan yang tidak realistik terhadap pasangan kamu. Memang terkadang kita menginginkan pasangan kita berubah ke arah yang lebih baik, tapi kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam ideal image kita mengenai pasangan sehingga kita “memaksakan” si dia untuk berubah agar dia menjadi sesuai dengan ideal image yang kita ciptakan.
Salah satu kesalahan yang banyak dilakukan (terutama oleh wanita) adalah mengharapkan pasangan kita akan berubah (atau akan bisa diubah) setelah menikah. Berubah pada dasarnya adalah hal yang sulit dilakukan oleh manusia pada umumnya. Jika si dia sebelumnya sudah boros, dengan menikah tidak menjamin dia akan menjadi lebih hemat.
Tetapi ini semua tidak berarti there’s no room for improvement in a rela­tionship. Jika seseorang ingin menjadi lebih baik (dalam hal karakter, kepribadian, kebiasaan, dsb) tentu dia harus berubah. Tetapi perubahan adalah suatu proses yang butuh waktu. Dan agar seseorang mau berubah, dia harus merasa diterima dulu sebagaimana apa adanya.

3. Kesamaan

Apakah kalian memiliki kesamaan (sifat, hobi, kebiasaan, karakter, dsb)?
Apakah kalian dapat bersahabat?
Riset membuktikan bahwa kebanyakan hubungan pernikahan yang stabil didasarkan pada banyaknya kesamaan antara keduanya (Warren, 1992).

Umumnya persahabatan dimulai dengan kesamaan antara dua or­ang. Mungkin keduanya memiliki hobi yang sama, cara piker yang sama, nilai-nilai hidup yang sama, dll. Dari kesamaan ini timbul kecocokan, dari kecocokan timbul persahabatan.

Tanyakanlah ke dirimu: Jika kalian tidak berpacaran, apakah kalian berdua dapat bersahabat?

Kesamaan adalah salah satu faktor yang mendukung kemungkinan langgengnya sebuah hubungan. Alasannya adalah setiap perbedaan antara kamu & si dia membutuhkan negosiasi & adaptasi (Warren, 1992). Ini tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan bagi dua orang yang berbeda untuk menjalin sebuah hubungan. Pertanyaannya adalah, sampai seberapa jauh kalian dapat menerima perbedaan si dia?

Dalam berpacaran kita harus saling memberi & menerima (give & take). Ini lebih penting lagi dalam hubungan antara dua orang yang sangat berbeda. Terkadang konflik muncul karena salah satu dari kalian merasa terlalu banyak memberi.

4. Waktu

Apakah kamu tergesa­gesa sebab “jam biologis” kamu sudah berdering?

Cinta perlu bertumbuh dan memerlukan waktu. Sama seperti kehidupan memiliki musim, cinta juga demikian (Epstein, 1995).

Musim pertama umumnya adalah musim terindah. Jika cinta itu buta, di musim inilah kita dibutakannya. Semua hal mengenai si dia begitu indah sebab kita cenderung mengalah dan menerima (accommodate) kekurangan si dia.

Musim berikutnya umumnya tidak seindah musim pertama sebab konflik mungkin muncul. Jika konflik tidak dapat diselesaikan, hubungan tersebut mungkin mengalami krisis. Jika konflik dapat diselesaikan, hubungan dapat menjadi lebih erat karena masing-masing sudah belajar dari kesalahan atau kesalahpahaman yang terjadi.

Cinta maupun suatu hubungan tidak dapat di-rush. Kedua hal tersebut butuh waktu agar dapat berkembang secara natural. Kita perlu waktu untuk benar-benar mengenal pasangan kita. Jika kita tergesa­gesa, kita mungkin akan lalai melihat beberapa aspek yang dapat menjadi potensi sumber konflik dalam hubungan.

5. Komitmen

Perasaan tidak selalu bertahan selamanya (feeling does not always last), dan ketika perasaan itu sudah pergi, yang tersisa adalah komitmen. Orang yang sudah lama menikah dapat meng-confirm pernyataan ini. Terkadang perasaan cinta saja tidak cukup menjadi dasar untuk menjalin sebuah hubungan.

Banyak hal yang dapat terjadi dalam kehidupan. Sangat mudah untuk bersama-sama ketika kita bersenang-senang tetapi ketika kesulitan dan pencobaan menghadang, apakah kamu masih akan tetap bersama si dia untuk melaluinya bersama-sama?

Sebelum kamu menyatakan komitmenmu, pikirkanlah dulu matang-matang. Janji pernikahan artinya bersama-sama dalam susah dan senang, sampai kematian memisahkan keduanya. Siapkah kamu untuk setia dengannya hingga selamanya?

6. Komunikasi

Bagaimana kalian berkomunikasi? Apa terkadang kamu bertindak seolah-olah si dia dapat membaca pikiran kamu (Contohnya: “Kamu harusnya tau dong!” atau “Masa begitu aja nggak ngerti sih?”)

Salah satu kunci dalam hubungan adalah komunikasi efektif. Komunikasi yang efektif berarti pesan yang disampaikan sama dengan pesan yang diterima. What is sent = what is received (Lucas, 1997). Salah satu cara berkomunikasi secara efektif adalah menjadi pendengar yang baik dan tidak menginterupsi ketika seseorang berbicara. Agar menjadi pendengar yang baik diperlukan konsentrasi penuh untuk mendengarkan ketika seseorang berbicara. Sering kita berpura-pura mendengarkan ketika seseorang berbicara padahal sebenarnya kita sedang memikirkan kalimat yang akan kita ucapkan selanjutnya. Komunikasi yang baik mengurangi kemungkinan terjadinya konflik. Virginia Satir mengajarkan salah satu teknik komunikasi yang dapat menjadi teknik untuk mencegah & mengatasi konflik. Teknik ini dinamai I’ Message. ‘I’ berarti “saya”, “’I’ Message” artinya kalimat yang dimulai dengan kata “saya”. Intinya adalah agar si pembicara mengakui perasaannya sendiri dan tidak secara langsung menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi pada dirinya.

Contoh: Ani & Budi berpacaran. Ani kesal dan sedih sebab Budi melupakan janji makan malam mereka. Ani berkata, “Budi, kok kamu bisa­bisanya sih lupa sama dinner kita? Kamu bikin saya kelaperan dan capek nungguin kamu di MRT!” Bandingkan reaksi Ani jika ia menggunakan ”’I’ Message”:

“Budi, saya merasa sedih & kesal sebab kamu ngelupain dinner kita. Saya merasa capek sebab saya menunggu lama di MRT. Saya berharap ini tidak akan terjadi lagi lain kali.”

Jika kamu adalah Budi, bagaimana kamu akan berespon terhadap reaksi Ani yang pertama & kedua? Adakah perbedaan respon kamu?

7. Gol Masa Depan

Apa yang ingin kamu capai di masa depan? Apa yang ingin pasangan kamu capai di masa depan? Apakah impian kalian berdua sama? Dapatkah kamu berdua saling mendukung seandainya impian tersebut berbeda? Apakah kalian berdoa bersama untuk mencari kehendak Tuhan dalam hidup kalian?

Kehidupan pernikahan membu­tuhkan kerja sama, ibaratnya kerja sama dalam sebuah tim. Sama seperti sebuah tim harus memiliki objektif (tujuan) yang ingin dicapai, demikian juga sebuah hubungan. Objektif atau tujuan memberikan sense of direction. Hubungan yang ideal adalah hubungan dua orang yang memiliki satu gol yang sama dan mereka saling bekerja sama untuk mencapai gol tersebut.

Salah satu masalah pasangan yang menikah terlalu muda adalah mereka belum memiliki gol masa depan bersama ketika mereka menikah. Mereka masih terlalu muda untuk mengetahui apa yang ingin mereka capai dalam hidup. Ketika mereka sadar akan gol mereka dan dapat saling membangun, then it’s ok. Jika tidak, ini berpotensi menjadi konflik besar dalam hubungan mereka.

Tanyakanlah pada dirimu sendiri: Apa yang ingin kamu capai dalam hidup? Berdoalah untuk menemukan kehendak Tuhan dalam hidup kamu. Jika kamu sudah mengetahui tujuan dan impian kamu, komunikasikanlah dengan si dia. Diskusikanlah jika ada perbedaan, dan doakanlah. (HE)

It is not about finding someone whom you think is perfect, it is about finding someone who is perfect for you. (Hernawaty Efendy)

Referensi:

Epstein, Alan (1995). How To Have More Love In Your Life. New York: Penguin Books.
Harris, Joshua (2000). Boy Meets Girl. Oregon: Multnomah Publishers, Inc.
Lucas, John C (1997). Conscious Marriage. Australia: Simon & Schuster.
Warren, Neil Clark (1992). Finding The Love Of Your Life. New York: Pocket Books.

Sumber Artikel: Buletin Pillar
http://www.buletinpillar.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar