Rabu, 13 Agustus 2014

Benarkah “SKB 2 Menteri” Harus Ditakutkan?


Oleh: 
Pdt. Sukamto Prakoso, MH.

Akhir-akhir ini umat Kristen di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat dan Banten, mulai dirisaukan dengan terjadinya penutupan berbagai rumah tempat ibadah yang dilakukan secara paksa oleh kelompok­kelompok tertentu. Sebagai contoh misalnya, Tabloid Informasi Tahun - I Edisi Perdana 2005 menceritakan bahwa pada Minggu (14/8), setidak-tidaknya 600 orang dengan membawa pentungan, bamboo dan senjata tajam secara tiba-tiba datang dan mengepung sebuah rumah di Blok Q Kompleks Permata Cimahi, Kelurahan Tani Mulya, Kecamatan Tani Mulya dan meminta kepada pendetanya untuk segera menutup kegiatan ibadah yang mereka lakukan. Walaupun kepada massa yang datang sudah dijelaskan bahwa keberadaan kegiatan ibadah dengan menggunakan rumah itu tidak bersifat liar, karena memiliki tanda tangan dari tetangga yang menyatakan tidak berkeberatan dengan keberadaan mereka dan dilengkapi dengan surat dari Menteri Kehakiman yang bertuliskan Badan Hukum Penetapan No.JA8/69/15, tanggal 3 Juli 1951 dan surat, dari Dirjen Bimas Kristen Protestan yang berdasarkan SK. Diakui No. 66/24/09/90, namun pemaksaan penutupan kegiatan ibadah itu tetap berlangsung.


Tuduhan yang dilemparkan oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut adalah bahwa kegiatan ibadah yang dilakukan di rumah-rumah itu dianggap kegiatan ibadah illegal. Berbicara "legal" (yang berarti sah menurut ketentuan undang-undang yang berlaku) atau "illegal" (yang berarti bertentangan dengan hukum atau melawan hukum) tentang sesuatu hal, tentu harus dikaji dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau hukum yang mengaturnya.

Kelompok-kelompok tertentu tersebut, menggunakan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.01/BER/MDN-MAG/1969, tanggal 13 September 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban Dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-pemeluknya, dengan mengatakan bahwa umat Kristen yang beribadah di rumah-rumah atau di tempat­tempat lain selain dalam bangunan gereja, telah melanggar SKB tersebut.

Apabila kita mempelajari SKB 2 Menteri tersebut secara seksama, maka dapat dimengerti bahwa tidak ada satu pasalpun yang mengatur atau melarang umat Kristen untuk beribadat di tempat-tempat tertentu, sesungguhnya dalam pasal 4 hanya mengatur tentang pendirian rumah ibadat; dengan perkataan lain bahwa SKB 2 Menteri tersebut tidak mengatur mengenai ibadat, tetapi tentang pendirian rumah ibadat. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk melarang, membubarkan atau bahkan rnenutup peribadatan yang sedang berlangsung dengan dalih melanggar SKB 2 Menteri tersebut.

Dengan melakukan ibadah tidak dalam suatu gedung berbentuk gereja, tetapi di tempat-tempat tertentu; tidak berarti bahwa umat Kristen telah mendirikan rumah ibadat, karena penclirian rumah ibadat (gereja) memang ada aturannya. Siapapun juga dalam Negara Republik Indonesia harus menaati hukum, tanpa memandang dari golongan manakah dia; karena memang hukum tidak mempunyai mata untuk dapat membedakan golongan­golongan tertentu, tetapi hukum mempunyai keadilan yang harus berlaku sama bagi setiap golongan. Terlebih lagi perlu diingat bahwa republik ini bukanlah milik satu golongan atau beberapa golongan saja, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Apalagi dalam Undang Undang Dasar 1945 (perubahan ketiga tahun 2001) pasal 1 ayat 3, mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan hal ini membuktikan bahwa Negara Indonesia bukan negara kekuasaan (machtstaat), sehingga tidak ada seorangpun juga dalam Negara Indonesia ini dengan dalih apapun juga dapat menggunakan kekuasaan untuk melakukan pemaksaan kepada pihak lain. Sebab yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.

Menurut Undang Undang Dasar 1945 (perubahan kedua tahun 2000), pasal 28E ayat 1 mengatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dst.; ayat 2 mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran clan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; sedangkan ayat '3 mengatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pasal 29 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945, dikatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dari bunyi pasal 28E Undang Undang Dasar 1945,  dengan jelas diatur bahwa dalam Negara Republik Indonesia, setiap orang berhak :
1.     memeluk agama,
2.     beribadat menurut agama yang dianut,
3.     meyakini kepercayaan,
4.   menyatakan pikiran dan sikap,
5.   berserikat,
6.   berkumpul,
7.   mengeluarkan pendapat.

Sedangkan bunyi pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, dengan jelas mengatur bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan setiap orang untuk:
a.   memeluk agama masing-masing,
b.   beribadat menurut agama dan kepercayaan masing­masing.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen yaitu dengan memeluk agama Kristen, beribadat sesuai dengan agama Kristen, berkumpul dalam suatu rumah, tidak dapat dikatakan melanggar SKB 2 Menteri tersebut. Karena pada dasarnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen yaitu berkumpul dalam suatu rumah adalah beribadah menurut agama yang dianut yang notabene dijamin atau dilindungi oleh Negara Republik Indonesia dan bukan merupakan perbuatan mendirikan rumah ibadat sesuai dengan yang diatur oleh pasal 4 SKB 2 Menteri tersebut. Terlebih lagi dalam SKB 2 Menteri itupun tidak terdapat larangan bagi umat Kristen untuk bribadat di rumah-rumah, sehingga apabila ada tuduhan yang mengatakan bahwa umat Kristen menyalahgunakan izin penggunaan rumah tinggal untuk menjadi gereja, adalah tidak benar sama sekali. Persoalannya adalah akan dimanakah umat Kristen beribadah, apabila pendirian rumah ibadat (gereja) selalu mendapat rintangan? Umat Kristen menganut sistem keanggotaan untuk melakukan penggembalaan, yang barangkali berbeda dengan sistem yang dianut oleh umat beragama lainnya. Sehingga tentu saja seorang umat Kristen akan mencari tempat ibadah yang sesuai dengan sistem keanggotaan yang selama ini dianutnya dan tidak akan datang ke tempat ibadah yang dirinya tidak terikat dengan sistem keanggotaan di tempat tersebut.

Perlu diingat bahwa agama Kristen bukanlah agama terlarang di bumi Nusantara ini, bukanlah agama untuk warga negara kelas dua dan bukan pula agama orang Belanda yang pernah menjajah Indonesia. Agama Kristen adalah agama yang bersifat universal, yang dianut oleh setiap bangsa yang ada di dunia ini. Agama Kristen tidak mewakili atau diwakili oleh suatu bangsa atau golongan apapun juga di muka bumi ini. Itulah sebabnya dalam Departemen Agama Republik Indonesia terdapat suatu lembaga yang mengurus agama Kristen dan bernama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, disingkat menjadi Ditjen Bimas Kristen. Sesuai dengan misinya, Direktorat Jenderal Bimbangan masyarakat Kristen ini bertugas untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama, pelayanan ibadah dan pelayanan peradilan, memberdayakan lembaga keagamaan, memperkokoh kerukunan umat beragama, meningkatkan penghayatan moral dan etika keagamaan dan penghormatan atas keanekaragaman keyakinan keagamaan.

Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan (yang mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No. WMPR/1973), dalam pasal2 mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
1.     Undang Undang Dasar 1945
2.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.     Undang Undang
4.     Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
5.     Peraturan Pemerintah
6.     Keputusan Presiden
7.     Peraturan Daerah

Sedangkan dalam pasal 4, mengatur bahwa sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada, maka peraturan yang Iebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang Iebih tinggi.

Dalam sistim hukum di Indonesia, dengan adanya ketentuan yang mengatur mengenai sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, mengandung arti bahwa:
a.   Sumber hukum tertulis yang tertinggi adalah Undang Undang Dasar 1945
b.   Peraturan yang Iebih tinggi merupakan sumber hukum dari peraturan yang lebih rendah (di bawahnya)
c.   Peraturan yang Iebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (di atasnya)
d.   Peraturan yang Iebih rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan yang Iebih tinggi.
e.   Peraturan yang Iebih rendah tidak boleh mencabut peraturan yang lebih tinggi
f.    Peraturan yang akan dicabut hanya dapat dilakukan
oleh peraturan yang sederajat atau yang Iebih tinggi.

Melalui penjelasan tersebut di atas, maka SKB 2 Menteri itu sebenarnya masih dapat diperdebatkan, apakah ketentuan itu masih dapat dikatakan sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28 E dan pasal 29 atau tidak. Gereja Bethel Indonesia berpendapat bahwa SKB 2 Menteri tidak relevan dengan keadaan di Indonesia, karena adanya SKB 2 Menteri ini bukannya mendatangkan ketenteraman bagi umat beragama (khususnya umat Kristen), tetapi justru sebaliknya. oleh sebab itu SKB 2 Menteri tersebut tidak perlu ditakutkan.

Dalam menyikapi situasi yang timbul pada akhir-akhir ini hendaknya para pemimpin jemaat lokal di dalam lingkungan organisasi Gereja Bethel Indonesia dapat bersikap seperti apa yang Yesus katakan dalam Injil Matius 10 ayat 16, yaitu cerdik seperti ular dan tulus seperti burung merpati. Sehingga andaikata ada kelompok-kelompok tertentu yang datang untuk meminta agar gembala atau pemimpin jemaat menutup kegiatan ibadah yang selama ini dilakukan atau menandatangani suatu surat pernyataan untuk melakukan penutupan kegiatan ibadah, hendaknya ditolak secara bijaksana dan segera melaporkannya kepada BPD/BPH GBI untuk mendapatkan pengarahan lebih Ianjut.


Sumber :
PENYULUH No. 34 Th. XIV 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar