Oleh:
Pdt. Sukamto Prakoso, MH.
Akhir-akhir
ini umat Kristen di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Barat dan
Banten, mulai dirisaukan dengan
terjadinya penutupan berbagai rumah tempat ibadah yang dilakukan secara
paksa oleh kelompokkelompok tertentu. Sebagai contoh misalnya, Tabloid Informasi
Tahun - I Edisi Perdana 2005 menceritakan bahwa pada Minggu
(14/8), setidak-tidaknya 600 orang dengan membawa pentungan,
bamboo dan senjata tajam secara tiba-tiba datang dan
mengepung sebuah rumah di Blok Q Kompleks Permata Cimahi,
Kelurahan Tani Mulya, Kecamatan Tani Mulya dan meminta kepada pendetanya untuk
segera menutup kegiatan ibadah yang mereka lakukan. Walaupun kepada
massa yang datang sudah dijelaskan
bahwa keberadaan kegiatan ibadah dengan menggunakan
rumah itu tidak bersifat liar, karena memiliki tanda tangan dari tetangga yang menyatakan tidak berkeberatan dengan keberadaan mereka dan
dilengkapi dengan surat dari Menteri
Kehakiman yang bertuliskan Badan
Hukum Penetapan No.JA8/69/15, tanggal 3 Juli 1951 dan
surat, dari Dirjen Bimas Kristen Protestan
yang berdasarkan
SK. Diakui No. 66/24/09/90, namun pemaksaan penutupan
kegiatan ibadah itu tetap berlangsung.
Tuduhan
yang dilemparkan oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut adalah
bahwa kegiatan ibadah yang dilakukan di rumah-rumah itu
dianggap kegiatan ibadah illegal. Berbicara "legal" (yang berarti sah
menurut ketentuan
undang-undang yang berlaku) atau "illegal" (yang berarti bertentangan dengan hukum atau melawan hukum) tentang sesuatu hal, tentu harus dikaji
dengan peraturan perundang-undangan yang ada atau hukum yang mengaturnya.
Kelompok-kelompok
tertentu
tersebut, menggunakan
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No.01/BER/MDN-MAG/1969, tanggal 13 September 1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban Dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan Dan Ibadat Agama Oleh Pemeluk-pemeluknya,
dengan mengatakan bahwa umat Kristen yang beribadah di rumah-rumah atau di
tempattempat lain selain dalam bangunan gereja, telah
melanggar SKB tersebut.
Apabila
kita mempelajari SKB 2 Menteri tersebut secara seksama, maka
dapat dimengerti bahwa tidak ada satu pasalpun yang
mengatur atau melarang umat Kristen untuk beribadat di
tempat-tempat tertentu, sesungguhnya dalam pasal 4 hanya
mengatur tentang pendirian rumah ibadat; dengan perkataan lain bahwa
SKB 2 Menteri tersebut tidak mengatur mengenai ibadat, tetapi
tentang pendirian rumah ibadat. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk melarang,
membubarkan atau bahkan rnenutup peribadatan yang sedang berlangsung dengan
dalih melanggar SKB 2 Menteri tersebut.
Dengan melakukan
ibadah tidak dalam suatu gedung berbentuk
gereja, tetapi di tempat-tempat tertentu; tidak berarti bahwa umat Kristen telah mendirikan rumah ibadat, karena penclirian rumah ibadat (gereja) memang ada aturannya. Siapapun juga dalam Negara Republik Indonesia harus menaati hukum, tanpa memandang
dari golongan manakah dia; karena
memang hukum tidak mempunyai mata
untuk dapat membedakan golongangolongan
tertentu, tetapi hukum mempunyai keadilan yang harus berlaku sama bagi setiap golongan. Terlebih lagi perlu diingat
bahwa republik ini bukanlah milik satu golongan
atau beberapa golongan saja, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Apalagi dalam Undang Undang Dasar 1945 (perubahan
ketiga tahun 2001) pasal 1 ayat 3, mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat)
dan hal ini membuktikan bahwa Negara
Indonesia bukan negara kekuasaan
(machtstaat), sehingga tidak ada seorangpun
juga dalam Negara Indonesia ini dengan dalih apapun juga dapat menggunakan kekuasaan untuk melakukan pemaksaan kepada pihak lain. Sebab yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang
berdiri atas hukum yang menjamin
keadilan bagi warga negaranya.
Menurut
Undang Undang Dasar 1945 (perubahan kedua tahun 2000),
pasal 28E ayat 1 mengatakan bahwa setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dst.; ayat 2
mengatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran clan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; sedangkan ayat
'3 mengatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam pasal 29 ayat 2 Undang Undang
Dasar 1945, dikatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
Dari
bunyi pasal 28E Undang Undang Dasar 1945, dengan jelas diatur bahwa dalam Negara
Republik Indonesia, setiap orang berhak :
1.
memeluk agama,
2. beribadat
menurut agama yang dianut,
3.
meyakini kepercayaan,
4.
menyatakan pikiran dan sikap,
5.
berserikat,
6.
berkumpul,
7.
mengeluarkan pendapat.
Sedangkan
bunyi pasal 29 Undang Undang Dasar 1945,
dengan jelas mengatur bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan setiap orang untuk:
a. memeluk
agama masing-masing,
b. beribadat
menurut agama dan kepercayaan masingmasing.
Sebenarnya
apa yang dilakukan oleh umat Kristen yaitu dengan memeluk
agama Kristen, beribadat sesuai dengan agama Kristen,
berkumpul dalam suatu rumah, tidak dapat dikatakan melanggar SKB
2 Menteri tersebut. Karena pada dasarnya apa yang dilakukan oleh umat Kristen
yaitu berkumpul dalam suatu rumah adalah beribadah menurut agama
yang dianut yang notabene dijamin atau dilindungi oleh Negara Republik Indonesia dan bukan merupakan perbuatan mendirikan rumah
ibadat sesuai dengan yang diatur oleh pasal 4 SKB 2 Menteri tersebut. Terlebih lagi dalam SKB 2 Menteri itupun
tidak terdapat larangan bagi umat Kristen untuk bribadat di rumah-rumah,
sehingga apabila ada tuduhan yang mengatakan
bahwa umat Kristen menyalahgunakan izin penggunaan rumah tinggal untuk menjadi
gereja, adalah tidak benar sama
sekali. Persoalannya adalah akan dimanakah
umat Kristen beribadah, apabila pendirian rumah ibadat (gereja) selalu mendapat rintangan? Umat Kristen menganut
sistem keanggotaan untuk melakukan penggembalaan,
yang barangkali berbeda dengan sistem yang dianut oleh umat beragama lainnya.
Sehingga tentu saja seorang umat
Kristen akan mencari tempat ibadah yang
sesuai dengan sistem keanggotaan yang selama ini dianutnya dan tidak akan
datang ke tempat ibadah yang dirinya
tidak terikat dengan sistem keanggotaan di tempat tersebut.
Perlu
diingat bahwa agama Kristen bukanlah agama terlarang di bumi
Nusantara ini, bukanlah agama untuk warga negara kelas dua dan bukan pula agama
orang Belanda yang pernah menjajah
Indonesia. Agama Kristen adalah agama
yang bersifat universal, yang dianut oleh setiap bangsa yang ada di dunia ini. Agama Kristen tidak mewakili atau diwakili oleh suatu bangsa atau
golongan apapun juga di muka bumi ini. Itulah sebabnya dalam Departemen Agama Republik Indonesia terdapat suatu
lembaga yang mengurus agama Kristen
dan bernama Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Kristen, disingkat
menjadi Ditjen Bimas Kristen. Sesuai dengan misinya, Direktorat Jenderal Bimbangan masyarakat Kristen ini bertugas untuk meningkatkan kualitas pendidikan
agama, pelayanan ibadah dan pelayanan
peradilan, memberdayakan lembaga
keagamaan, memperkokoh kerukunan umat
beragama, meningkatkan penghayatan moral
dan etika keagamaan dan penghormatan atas keanekaragaman keyakinan keagamaan.
Ketetapan
MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundangan (yang mencabut TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
dan TAP MPR No. WMPR/1973), dalam pasal2 mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan
sebagai berikut:
1. Undang
Undang Dasar 1945
2. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang
Undang
4. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang
5. Peraturan
Pemerintah
6. Keputusan
Presiden
7. Peraturan
Daerah
Sedangkan
dalam pasal 4, mengatur bahwa sesuai dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan yang ada, maka peraturan yang Iebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang Iebih tinggi.
Dalam
sistim hukum di Indonesia, dengan adanya ketentuan yang mengatur
mengenai sumber tertib hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan, mengandung arti bahwa:
a. Sumber
hukum tertulis yang tertinggi adalah Undang Undang Dasar 1945
b. Peraturan
yang Iebih tinggi merupakan sumber hukum dari peraturan yang
lebih rendah (di bawahnya)
c. Peraturan
yang Iebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi (di atasnya)
d. Peraturan
yang Iebih rendah merupakan peraturan pelaksanaan dari
peraturan yang Iebih tinggi.
e. Peraturan
yang Iebih rendah tidak boleh mencabut peraturan yang lebih
tinggi
f.
Peraturan
yang akan dicabut hanya dapat dilakukan
oleh peraturan yang
sederajat atau yang Iebih tinggi.
Melalui penjelasan
tersebut di atas, maka SKB 2 Menteri itu
sebenarnya masih dapat diperdebatkan, apakah
ketentuan itu masih dapat dikatakan sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28 E dan pasal 29 atau tidak.
Gereja Bethel Indonesia berpendapat
bahwa SKB 2 Menteri tidak relevan dengan keadaan di Indonesia, karena adanya
SKB 2 Menteri ini bukannya mendatangkan ketenteraman bagi umat beragama (khususnya umat Kristen), tetapi justru sebaliknya. oleh sebab itu SKB 2 Menteri tersebut
tidak perlu ditakutkan.
Dalam
menyikapi situasi yang timbul pada akhir-akhir ini hendaknya
para pemimpin jemaat lokal di dalam lingkungan organisasi
Gereja Bethel Indonesia dapat bersikap seperti apa yang Yesus
katakan dalam Injil Matius 10 ayat 16, yaitu cerdik
seperti ular dan tulus seperti burung merpati. Sehingga
andaikata ada kelompok-kelompok tertentu yang datang untuk
meminta agar gembala atau pemimpin jemaat menutup kegiatan ibadah yang
selama ini dilakukan atau menandatangani suatu surat
pernyataan untuk melakukan penutupan kegiatan ibadah,
hendaknya ditolak secara bijaksana dan segera melaporkannya kepada BPD/BPH GBI
untuk mendapatkan pengarahan lebih Ianjut.
Sumber
:
PENYULUH
No. 34 Th. XIV 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar